Oleh: Johanes Krisnomo
PERJUANGAN melawan badai polusi udara selama perjalanan, belum berakhir ketika anda sampai di ruang kerja. Meskipun tampak rapi, bersih dan ber-AC, kualitas udara ruang kerja tidak selalu lebih baik. Ketidakmampuan ruang untuk menetralisasi berbagai macam partikel polusi akan berdampak pada gangguan kesehatan yang disebut dengan sick building syndrome (SBS).
Peluang manusia terpapar polusi, berdasarkan studi dari United States Environmental Protection Agency (USEPA) disebutkan bahwa derajat polusi dalam ruang, dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan polusi luar ruangan. Pengertian udara dalam ruang menurut National Health and Medical Research Council (NHMRC) adalah udara yang berada di dalam suatu ruang gedung yang ditempati oleh sekelompok orang yang memiliki tingkat kesehatan yang berbeda-beda selama minimal satu jam. Ruang gedung yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi rumah, sekolah, restoran, gedung untuk umum, hotel, rumah sakit dan perkantoran.
Pemahaman tentang SBS dapat dijelaskan sebagai kumpulan gejala yang umum terjadi pada para pekerja atau penghuni suatu gedung yang banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan tertutup. Gejala yang dialami sangat bervariasi, seperti misalnya flu, iritasi pada mata, hidung, tenggorokan, ISPA, batuk tidak berdahak, kulit kering dan gatal, rasa mual, pusing, sulit berkonsentrasi dan juga cepat lelah. Semua gejala akan segera berkurang atau bahkan hilang setelah keluar dari ruangan.
Menurut WHO, sebagian besar penyebab SBS adalah kualitas udara ruangan yang kurang baik. Hasil penyelidikan kualitas udara dalam ruang oleh The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) memperlihatkan bahwa masalah kualitas udara dalam ruang disebabkan oleh ventilasi yang tidak cukup (52 %), kontaminasi dari dalam ruang (16 %), kontaminasi yang berasal dari luar ruang (10 %), kontaminasi mikrobiologi (5 %), kontaminasi material bangunan (4 %) dan lain-lain (13 %).
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam hubungan kualitas udara dalam ruang dengan kejadian SBS adalah (a) kondisi suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan serapan polutan kimia dalam ruangan, pertumbuhan mikroorganisme di udara, dan meningkatkan bau yang tidak sedap; (b) konstruksi gedung dan furniture; (c) proses dan alat-alat dalam gedung; (d) ventilasi dan distribusi udara yang buruk; (e) status kesehatan pekerja, dan faktor psikososial/stress. (Laila Fitria dkk, UI, Makara Kesehatan, Vol.12/2, Des 2008).
Kualitas udara ruangan dalam lingkungan kerja perkantoran dan industri, seperti diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/MENKES/SK/XI/2002, mempersyaratkan suhu ruangan 18 - 28 derajat Celcius, kelembaban 40 - 60 %, dan pertukaran udara 0.283 M3/menit/orang dengan laju ventilasi 0.25 M/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak ber-AC, harus memiliki lubang ventilasi minimal 15 % dari luas lantai dengan menerapkan sistim ventilasi silang. Syarat lainnya, kandungan debu maksimal rata-rata 8 jam adalah 0.15 mg/M3 dan kandungan dalam jumlah terbatas beberapa gas pencemar seperti asam sulfida, amonia, karbon monoksida, dan sebagainya. Dalam keputusan tersebut dipersyaratkan pula kandungan mikroba yang dinyatakan sebagai angka kuman, kurang dari 700 koloni/M3 udara dan bebas kuman pathogen.
Dampak SBS seperti dijelaskan dr Hendrawati Utomo, MS, SpOk, ahli masalah polusi udara dalam ruang, beberapa waktu lalu bahwa dalam jangka pendek memang hanya menimbulkan keluhan-keluhan ringan. Namun, dalam jangka panjang diyakini menjadi penyebab berbagai penyakit yang lebih serius termasuk kanker, yang umumnya dapat muncul 15 - 20 tahun sejak terpapar penyebabnya.
Pencegahan dan minimalisasi dampak SBS dapat dijabarkan dengan beberapa perilaku sebagai berikut. Pertama, sediakan waktu istirahat untuk keluar ruangan/gedung untuk mendapatkan udara segar. Kedua, tempatkan peralatan kerja, seperti mesin fotokopi dan printer, agak jauh dari meja kerja karena alat-alat tersebut berpeluang sebagai penghasil polusi partikel dan senyawa gas beracun.
Ketiga, sediakan area merokok dan pisahkan jalur ventilasi antara buangan asap rokok dan sirkulasi udara segar. Keempat, sirkulasi udara harus dipastikan baik. Jika ruang tidak ber-AC, maka jendela atau ventilasi harus dibuka supaya ada pertukaran udara. Kontrol kelayakan AC, harus terkendali dan terawat agar udara yang dihasilkan terjamin kebersihannya. Kelima, suhu dan kelembaban harus dipertahankan pada kondisi nyaman dan terhindar dari peluang kontaminasi mikroba (18-28 derajat Celcius, 40 - 60 %).
Keenam, secara berkala lakukan sortir dan pisahkan alat - alat kerja yang sudah tidak terpakai. Rapikan, bersihkan dan atur peletakan alat-alat kerja yang masih dipakai agar tidak berdebu. Selain polusi partikel, debu juga banyak mengandung mikroba. Dan yang ketujuh bila memungkinkan, tempatkan tanaman hias dalam ruangan kerja sebagai pengurai polusi udara. Beberapa tanaman yang bisa dipilih diantaranya bonsai beringin (ficus menyamina), palem-paleman (rhapis), jenis-jenis kaktus kecil (cactus) atau tanaman lidah mertua (sanseviera).
Dalam keseharian, SBS sering diasumsikan sebagai gejala penyakit ringan yang bukan lagi dikategorikan sebagai penyakit. Bila kita terlambat mengambil sikap, bukan tidak mungkin SBS kelak akan menjelma jadi penyakit yang mematikan, bagai musuh dalam selimut.
Penulis, alumnus Kimia ITB, pemerhati lingkungan hidup, teknologi pangan, kesehatan, kimia pangan dan praktisi di industri pangan
Komentar dan Saran sangat dinantikan.
BalasHapusTerimakasih,
Johanes Krisnomo