www.johaneskrisnomo.blogspot.com
Balada Anak Kost
Oleh : Johanes Krisnomo
Jembatan Layang Pasupati
- Bandung, waktu jaman aku kuliah dulu, sekitar
tahun tujuh puluh delapan masih sebatas wacana kabur. Kini, tampak megah memanjang
dari daerah Jalan Pasteur sampai Lapangan Gasibu Gedung Sate melintasi daerah
Jalan Tamansari dan Haji Juanda Dago.
Sabtu siang jam dua, di
penghujung bulan september dua ribu dua belas, lalu-lintas setengah macet. Dari
ketinggian jembatan, arah balik menuju Pasteur kendaraan merayap perlahan.
Disela-sela ketidaknyamanan
selalu ada hikmah, itu pepatah orang-orang tua kita dulu. Gara-gara lalu-lintas
tak lancar, bola mata seolah dipaksakan untuk melihat betapa padatnya
rumah-rumah di perkampungan sekitar Jalan Tamansari. Ada yang hilang dari
pandangan, Pasar Balubur yang dulunya merupakan pasar tradisional sudah
berpindah lokasi dan berganti jadi pasar modern bertingkat.
Tentang Pasar Balubur,
bukanlah hal yang istimewa kalau tidak ada sesuatu banget yang ingin
kusampaikan. Disitu, tepat disamping bekas Pasar Balubur lama ada sebuah rumah sederhana yang sangat tidak
sederhana dalam arti nilai sejarahnya. Tujuh tahun lamanya, di rumah itu aku
bertahan dalam suka maupun duka berjuang meraih impian untuk menjadi sarjana ITB
(Institut Teknologi Bandung).
Keramahan pemilik
rumah, janda setengah baya beranak tujuh, memikatku untuk menjatuhkan pilihan
tinggal disitu. Sang Ibu Kost, rupanya karena kebutuhan ekonomi merelakan
tinggal berdesak-desakan, sementara sebuah kamar tidur diberikan untuk
ditempati orang lain. Pertimbangan lain, selain harga sewa kamar tergolong murah, lokasinya pun tak jauh dari
Jalan Raya Tamansari, kira-kira lima belas menit jalan kaki ke kampus ITB di
Jalan Ganesha.
Kamar Kost, berukuran
dua kali empat meter kubagi menjadi dua bagian. Meja belajar dari kayu yang
kubeli disekitar Jalan Tamansari kuletakkan di bagian depan, lengkap dengan dua
buah kursi. Satu untukku dan yang satu lagi untuk kursi tamu. Bagian dalam ada tempat tidur,
berbatasan dengan pembatas dinding triplek milik penghuni rumah.
Adaptasi yang
kulalui cukup berat, siang hari bila tak ada kuliah dan harus kembali ke kost,
sering kudengar paksa celoteh dongeng atau sandiwara berseri dari sebuah
pemancar radio yang disiarkan tiap hari.
Bisa karena biasa, dan itu
terbukti. Suara radio maupun hiruk-pikuk
obrolan dari keluarga Ibu Kost, tak berpengaruh nyata terhadap daya serap mata
kuliah ketika aku sedang belajar. Masih untung, waktu itu tak ada Televisi (TV)
sebagai gangguan tambahan, karena barang tersebut masih merupakan barang langka
dan mahal.
Suatu waktu karena
kesibukan dan banyaknya keperluan kuliah, persediaan uang sangat menipis.
Kiriman bulanan pakai Wesel Pos masih
satu minggu lagi. Model kiriman uang lewat bank memang belum secanggih
sekarang, pakai ATM dan uang langsung bisa diterima. Tapi bukan itu masalahnya,
aku tak tega untuk minta uang tambahan ke orang tua karena kutahu dirumahpun
sedang sulit.
Siang itu, dengan
langkah lesu kususuri jalan dari kampus dan mencoba untuk istirahat di Rumah Kost.
Sedang sibuk membereskan kamar, pintu diketuk. “ Om, ini nasi kuning dari ibu.
Ada yang Ulang Tahun!” kata anak perempuan Ibu Kost yang masih duduk di bangku
SMA kelas dua. “ Oh, sampaikan ucapan terimakasih buat ibu ya” kataku sigap dan
masih terkesima dengan keberuntungan yang terjadi.
Hidup masih satu minggu
lagi, artinya kiriman uang dari orang tua baru ada minggu depan. Apakah bisa
belajar dengan perut kosong, kataku dalam hati. Memasuki tahun kedua
perkuliahan, tak bisa hidup mengandalkan keberuntungan. Harus ada usaha,
tekadku lebih lanjut.
Tak sempat kubuka lebar
selimut tebalku, aku tertidur nyaman sampai sore hari karena perut kenyang menu
nasi kuning. Begitu sadar terbangun, masih dengan selimut tergenggam di tangan kudapatkan
ide istimewa penyambung hidup.
Malam hari, disudut
Jalan Tamansari ada sebuah kios rokok. Kuhilangkan rasa malu, kutawarkan
selimut kesayanganku. Hasil akhir transaksi kudapatkan lima ribu rupiah. Cukuplah
untuk makan satu minggu. Hidup jadi lebih hidup, belajar tambah semangat.
Pagi hari, udara luar
terasa lebih segar. Kamar mandi cuma satu, terletak dibagian luar rumah dan dipakai
bergantian dengan penghuni rumah. Istimewanya, meskipun kamar mandi berpintu kayu
dan cukup rapat tetapi bagian atasnya tanpa atap alias terbuka.
Senyumku mengembang,
bersamaan dengan cairnya kemacetan di atas Jembatan Layang Pasupati.
Kubayangkan disana bila kamar mandi tanpa atap itu masih ada, bisa dipastikan
semua gerak-gerikku sewaktu mandi akan jadi tontonan banyak orang.
Bandung, 03 Okt 2012 Telah tayang di cerpen www.kabarindonesia.com tgl 01 Okt 2012
Sumber Foto : http://www.pikiran-rakyat.com
Salam Semangat!
www.johaneskrisnomo.blogspot.com
Salam Semangat!
www.johaneskrisnomo.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar