JK250811

Kamis, 04 Oktober 2012

Balada Anak Kost


www.johaneskrisnomo.blogspot.com




Balada Anak Kost

Oleh : Johanes Krisnomo

Jembatan Layang Pasupati - Bandung, waktu jaman aku kuliah dulu,  sekitar tahun tujuh puluh delapan masih sebatas wacana kabur. Kini, tampak megah memanjang dari daerah  Jalan Pasteur sampai  Lapangan Gasibu Gedung Sate melintasi daerah Jalan Tamansari dan Haji Juanda Dago.

Sabtu siang jam dua, di penghujung bulan september dua ribu dua belas, lalu-lintas setengah macet. Dari ketinggian jembatan, arah balik menuju Pasteur kendaraan merayap perlahan.

Disela-sela ketidaknyamanan selalu ada hikmah, itu pepatah orang-orang tua kita dulu. Gara-gara lalu-lintas tak lancar, bola mata seolah dipaksakan untuk melihat betapa padatnya rumah-rumah di perkampungan sekitar Jalan Tamansari. Ada yang hilang dari pandangan, Pasar Balubur yang dulunya merupakan pasar tradisional sudah berpindah lokasi dan berganti jadi pasar modern bertingkat.

Tentang Pasar Balubur, bukanlah hal yang istimewa kalau tidak ada sesuatu banget yang ingin kusampaikan. Disitu, tepat disamping bekas Pasar Balubur lama ada  sebuah rumah sederhana yang sangat tidak sederhana dalam arti nilai sejarahnya. Tujuh tahun lamanya, di rumah itu aku bertahan dalam suka maupun duka berjuang meraih impian untuk menjadi sarjana ITB (Institut Teknologi Bandung).

Keramahan pemilik rumah, janda setengah baya beranak tujuh, memikatku untuk menjatuhkan pilihan tinggal disitu. Sang Ibu Kost, rupanya karena kebutuhan ekonomi merelakan tinggal berdesak-desakan, sementara sebuah kamar tidur diberikan untuk ditempati orang lain. Pertimbangan lain, selain harga sewa kamar tergolong murah, lokasinya pun tak jauh dari Jalan Raya Tamansari, kira-kira lima belas menit jalan kaki ke kampus ITB di Jalan Ganesha. 

Kamar Kost, berukuran dua kali empat meter kubagi menjadi dua bagian. Meja belajar dari kayu yang kubeli disekitar Jalan Tamansari kuletakkan di bagian depan, lengkap dengan dua buah kursi. Satu untukku dan yang satu lagi untuk kursi  tamu. Bagian dalam ada tempat tidur, berbatasan dengan pembatas dinding triplek milik penghuni rumah. 

Adaptasi yang kulalui cukup berat, siang hari bila tak ada kuliah dan harus kembali ke kost, sering kudengar paksa celoteh dongeng atau sandiwara berseri dari sebuah pemancar radio yang disiarkan tiap hari.

Bisa karena biasa, dan itu terbukti. Suara radio  maupun hiruk-pikuk obrolan dari keluarga Ibu Kost, tak berpengaruh nyata terhadap daya serap mata kuliah ketika aku sedang belajar. Masih untung, waktu itu tak ada Televisi (TV) sebagai gangguan tambahan, karena barang tersebut masih merupakan barang langka dan mahal.

Suatu waktu karena kesibukan dan banyaknya keperluan kuliah, persediaan uang sangat menipis. Kiriman bulanan pakai  Wesel Pos masih satu minggu lagi. Model kiriman uang lewat bank memang belum secanggih sekarang, pakai ATM dan uang langsung bisa diterima. Tapi bukan itu masalahnya, aku tak tega untuk minta uang tambahan ke orang tua karena kutahu dirumahpun sedang sulit. 

Siang itu, dengan langkah lesu kususuri jalan dari kampus dan mencoba untuk istirahat di Rumah Kost. Sedang sibuk membereskan kamar, pintu diketuk. “ Om, ini nasi kuning dari ibu. Ada yang Ulang Tahun!” kata anak perempuan Ibu Kost yang masih duduk di bangku SMA kelas dua. “ Oh, sampaikan ucapan terimakasih buat ibu ya” kataku sigap dan masih terkesima dengan keberuntungan yang terjadi.

Hidup masih satu minggu lagi, artinya kiriman uang dari orang tua baru ada minggu depan. Apakah bisa belajar dengan perut kosong, kataku dalam hati. Memasuki tahun kedua perkuliahan, tak bisa hidup mengandalkan keberuntungan. Harus ada usaha, tekadku lebih lanjut.

Tak sempat kubuka lebar selimut tebalku, aku tertidur nyaman sampai sore hari karena perut kenyang menu nasi kuning. Begitu sadar terbangun, masih dengan selimut tergenggam di tangan kudapatkan ide istimewa penyambung hidup.

Malam hari, disudut Jalan Tamansari ada sebuah kios rokok. Kuhilangkan rasa malu, kutawarkan selimut  kesayanganku. Hasil akhir  transaksi kudapatkan lima ribu rupiah. Cukuplah untuk makan satu minggu. Hidup jadi lebih hidup, belajar tambah semangat.

Pagi hari, udara luar terasa lebih segar. Kamar mandi cuma satu, terletak dibagian luar rumah dan dipakai bergantian dengan penghuni rumah. Istimewanya, meskipun kamar mandi berpintu kayu dan cukup rapat tetapi bagian atasnya tanpa atap alias terbuka.

Senyumku mengembang, bersamaan dengan cairnya kemacetan di atas Jembatan Layang Pasupati. Kubayangkan disana bila kamar mandi tanpa atap itu masih ada, bisa dipastikan semua gerak-gerikku sewaktu mandi akan jadi tontonan banyak orang.

Bandung, 03 Okt 2012  Telah tayang di cerpen www.kabarindonesia.com tgl 01 Okt 2012

Salam Semangat!
www.johaneskrisnomo.blogspot.com





Salam Semangat!
www.johaneskrisnomo.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar