JK250811

Selasa, 06 Desember 2011

CTPS Jurus Mini Sehatnya Maksi



CTPS
Jurus Mini Sehatnya Maksi

Menyambut  Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia - 15 Oktober

Oleh : Johanes Krisnomo

Tibanya musim pancaroba identik dengan datangnya penyakit. Debu dan kotoran pembawa kuman ada di mana-mana, menyatu dalam banyak kegiatan, baik di rumah, di jalan, di tempat umum maupun di tempat kerja. Semua itu membutuhkan perilaku ketat pola hidup bersih dan sehat (PHBS), yang salah satu pilarnya adalah cuci tangan pakai sabun (CTPS), dan telah terbukti ampuh mencegah serangan berbagai macam penyakit seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan lain-lain. Masalahnya adalah CTPS masih dianggap remeh dan belum menjadi suatu kebiasaan di sebagian besar masyarakat.





Berdasarkan data Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2010, persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria PHBS dengan kategori baik secara rata-rata nasional hanya 35,7 persen. Sedangkan persentase penduduk yang berperilaku benar dalam CTPS secara rata-rata nasional hanya 24,5 persen.

"Orang menganggap cuci tangan itu tidak penting. Mereka hanya cuci tangan pakai sabun kalau tangannya kotor, berminyak, dan bau. Kalau tidak kotor atau bau, dia akan menganggap tangannya bersih. Padahal, sebenarnya kuman-kuman nempel di mana-mana," ujar Wendy Sarasdyani, koordinator Public-Private Partnership for Handwashing (PPP-HWWS) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kedua tangan kita adalah salah satu jalur utama masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Kuman-kuman masuk mulut melalui tangan yang telah menyentuh tinja, makanan mentah, dan peralatan makan yang tidak dicuci terlebih dahulu atau tempat-tempat lain yang sering dijamah banyak orang.

"Dalam jari-jari tangan yang terlihat bersih, sebenarnya terdapat ratusan telur cacing, kuman, dan virus di area permukaan kulit tangan dan di sela-sela kuku," kata dr. Handrawan Nadesul, pakar kesehatan dan penulis beberapa buku kesehatan. Selain air yang mengalir dan sabun, menurut Handrawan, diperlukan pula sistematika mencuci tangan agar semua bagian bebas kuman. Sejumlah bukti ilmiah juga membenarkan hanya cuci tangan secara benar yang mampu membatalkan penularan penyakit. "Bersihkan seluruh bagian pergelangan tangan, punggung tangan serta di sela jari, dan kuku dengan sabun selama 20 detik. Lalu basuh dengan air kemudian keringkan dengan tisu atau alat pengering lain yang bersih," paparnya.


CTPS adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah penyakit diare dan ISPA. Kedua penyakit itu menjadi penyebab utama kematian anak-anak. Setiap tahun, sebanyak 3,5 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal sebelum mencapai umur lima tahun karena penyakit diare dan ISPA. 

Sebuah ulasan yang membahas sekitar 30 penelitian terkait, seperti dikutip dari www.sanitasi.or.id, menemukan bahwa cuci tangan pakai sabun dapat memangkas angka penderita diare hingga separuhnya (50 persen) dan mengurangi angka infeksi saluran pernapasan hingga 25 persen, dengan cara melepaskan kuman-kuman penyakit (patogen) pernapasan yang terdapat pada tangan dan permukaan telapak tangan. Cuci tangan juga efektif mencegah penyakit kolera, tifus, flu burung, cacingan, influenza, serta hepatitis A, dan lain-lainnya.

Potensi terkena cemaran penyakit sulit dihindari, akibat tidak melakukan CTPS, terutama bagi sebagian orang yang sering beraktivitas diluar rumah atau kontak langsung dengan benda-benda yang digunakan banyak orang. Contoh sumber cemaran adalah pegangan pintu toilet, tombol lift, wadah sabun di toilet umum, troli di supermarket, gagang telpon, meja kursi di ruang tunggu dokter, uang, aktivitas jabat tangan dan apa pun yang terpegang di tempat umum.

Langkah nyata pencegahan cemaran penyakit haruslah dilakukan penekanan pada kegiatan CTPS di setiap kesempatan yang memungkinkan. Terlebih lagi sebelum makan, sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, sehabis buang air besar (BAB) dan setelah menceboki anak.


Menurut data Kajian Diare Ditjen PP&PL, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes, secara umum terjadi peningkatan perilaku CTPS dari 11 persen (tahun 2007) menjadi 23 persen (tahun 2010). Artinya, masih ada 77 persen orang Indonesia yang belum menerapkan CTPS. Senada dengan hasil kajian tersebut, sebuah riset yang dilakukan oleh kemitraan pemerintah dan swasta untuk CTPS menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat terkait CTPS terbilang sudah tinggi, namun dalam penerapannya masih sangat rendah.
 
Pengetahuan akan menjadi nyata bila diterapkan sesuai dengan kepentingannya. Perihal CTPS, haruslah lebih ditekankan pada segala macam cara yang mengarah terciptanya bentuk kebiasaan. Meskipun sulit, terutama bagi orang dewasa, dampak penyakit akibat tidak dilakukannya CTPS dapat menjadi landasan kuat bagi suksesnya program. Kegiatan PHBS di tingkat RT-RW dapat digunakan sebagai kendaraan yang mengusung CTPS sebagai salah satu pilarnya. Bahkan program Jumat bersih (Jumsih) dan Minggu bersih (Mingsih) yang sudah berjalan di antara warga dapat lebih ditingkatkan lagi dengan penyuluhan tentang manfaat dan penerapan CTPS. Program CTPS juga harus diterapkan di rumah, sekolah, dan fasilitas umum agar menghasilkan satu sinergi yang saling memperkuat keberhasilan.

Hari CTPS Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 15 Oktober, kiranya dapat lebih memberikan pemahaman dan introspeksi menuju kualitas hidup yang lebih sehat dan bermakna dengan selalu berperilaku CTPS secara konsisten dan sadar!

Publikasi Artikel di Harian Umum Galamedia, 17 Okt 2011 www.klik-galamedia.com
www.johaneskrisnomo.blogspot.com
J.Krisnomo : Penulis, alumnus Kimia ITB, pemerhati lingkungan hidup, teknologi pangan, kesehatan, kimia pangan dan praktisi di industri pangan. 


Bandung, 06 Des 2011

Terimakasih 
Semoga Bermanfaat 

Johanes Krisnomo

stalgijk@yahoo.com



Sampai Jumpa





Tidak ada komentar:

Posting Komentar