Sambut Cap
Go Meh di Pulau Kemaro
Siti
Fatimah, putri dari Kerajaan Palembang, disunting oleh Tan Bun An, saudagar
asal Tiongkok. Oleh Tan, Siti diajak ke negeri asal mereka untuk menjenguk
keluarganya. Saat kembali ke Palembang, pasangan ini mendapat hadiah berupa
tujuh guci.
Guci itu baru dibuka oleh Tan saat kapal mereka berada di alur
Musi. Tan terkejut karena guci yang dihadiahkan ternyata berisi sayuran. Ia pun
membuang guci-guci itu ke sungai. Namun, saat membuang guci terakhir, guci itu
pecah di dek kapal dan terbongkarlah isi guci yang sesungguhnya.
Mengetahui bahwa guci berisi harta, Tan kemudian terjun ke
sungai untuk mengambilnya kembali. Naas, Tan tidak muncul lagi ke permukaan.
Begitu pula saat anak buahnya dan Siti menyusul terjun ke sungai dengan maksud
menolong, mereka mengalami nasib serupa. Sejak saat itu, penduduk sekitar
sering berkunjung ke Kemaro untuk mengenang mereka.
Legenda tentang Pulau Kemaro ini terpahat dalam prasasti di sisi
kanan depan kelenteng yang dibangun oleh dinas pariwisata setempat. Tidak
disebutkan apakah pendirian kelenteng ini ada hubungannya langsung dengan legenda
itu. Yang pasti, citra Pulau Kemaro kemudian lekat dengan budaya Tionghoa di
Palembang.
Selain kelenteng dan makam, di pulau seluas 180 hektar itu juga
terdapat pagoda berlantai sembilan yang jarang ditemui di tempat lain.
Pada setiap perayaan Imlek, pulau yang berada sekitar 5
kilometer dari Jembatan Ampera ini banyak didatangi orang. Jumlah mereka makin
banyak saat Cap Go Meh tiba, yakni 13 hari setelah Imlek. Saat itu, tidak hanya
warga Tionghoa penganut Tridarma yang datang untuk bersembahyang, tetapi juga
masyarakat umum yang sekadar ingin jalan-jalan.
Lampion
dan kios
Di
luar ruang Kelenteng Hok Cing Bio tampak tergantung lampion-lampion yang sudah
dipasang beberapa pekan lalu. Lampion itu melengkapi ratusan lampion yang ada
sebelumnya, yang membentang mulai dari dermaga hingga jalan-jalan kecil di
sekitar kelenteng.
Puluhan kios baru berbahan kayu dengan atap daun rumbia juga
telah didirikan. Kios itu melengkapi kios lama yang kondisinya telah lapuk.
”Kios itu dibangun untuk menyambut Cap Go Meh. Saat itu, jumlah pengunjung
banyak sekali. Jalan saja sulit, apalagi yang punya anak, harus berhati-hati
agar anaknya tidak terpisah,” tutur Marlina, petugas kebersihan di lingkungan
kelenteng.
Kondisi Kemaro yang berada di tengah sungai memang cukup lengang.
Sesekali suara mesin perahu yang melaju di sela-sela tongkang batubara yang
tengah tertambat tidak jauh dari kelenteng memecah kesunyian. Sementara di
seberang, gedung pabrik Pupuk Sriwijaya kokoh berdiri.
Linda, juru kunci kelenteng, sibuk memasang hio di beberapa
altar persembahan. Menurut dia, tidak ada persiapan khusus yang membedakan
penyambutan Imlek tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
”Saat Imlek, biasanya pengunjung datang ke sini khusus untuk
sembahyang saja. Sementara mereka yang ingin jalan-jalan bisa memanfaatkan area
luar kelenteng. Mereka semua warga Palembang, baik yang menetap maupun yang
telah lama merantau ke luar daerah,” katanya.
Jejak
Cheng Ho
Masyarakat
Tionghoa di Palembang telah ada sejak berabad-abad silam. Saudagar asal Tiongkok
menjadi salah satu dari beberapa etnis yang melayari Sungai Musi saat Kerajaan
Sriwijaya berdiri. Bahkan, Laksamana Cheng Ho disebut-sebut pernah beberapa
kali datang ke Sriwijaya dalam rangka diplomasi kebudayaan. Nama Cheng Ho pun
diabadikan menjadi nama salah satu masjid di ”kota pempek” ini.
Bambang Budi Utomo dalam buku Cheng
Ho: Diplomasi Kebudayaan di Palembang yang diterbitkan Pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan menyebutkan, 600 tahun lalu, Kaisar Tiongkok Yung Lo
memerintahkan Cheng Ho memimpin armada besar dalam rangka muhibah ke berbagai
penjuru dunia. Dalam waktu 28 tahun, tujuh kali Cheng Ho memimpin armada
pelayaran itu. Empat kali di antaranya merupakan kunjungan ke Palembang.
Selain untuk menjalin misi kebudayaan, tujuan kedatangan Cheng
Ho ke Palembang juga untuk meringkus pelarian bajak laut dari Tiongkok bernama
Ch’en Zuyi.
Keterangan Foto : Pedagang kaki lima dan lampion mulai
marak ditemui di sekitar kelenteng Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan,
pekan lalu. Pulau Kemaro setiap tahun menjadi salah satu kawasan yang dibanjiri
pengunjung saat perayaan tahun baru Imlek hingga Cap Go Meh.
Sumber : http://print.kompas.com/Penulis
: Defri Werdiono/ Foto-foto: Kompas/Wawan H Prabowo/21Feb2015