Bahagia
Bermula dari Pikiran
Setiap manusia pasti
ingin bahagia. Namun, setiap orang memiliki persepsi berbeda tentang bahagia,
demikian pula cara untuk menjadi bahagia. Meski tak mudah untuk selalu merasa
bahagia, seseorang bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri karena dari otaklah
kebahagiaan seseorang bermula.
Awal Februari lalu,
Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Kebahagiaan Indonesia 2014. Survei itu
mengukur tingkat kepuasan hidup warga yang bisa dipakai untuk mengukur
kesejahteraan warga. Hasilnya, orang Indonesia lebih puas dengan keharmonisan
keluarga, keamanan, kondisi lingkungan, serta hubungan sosial yang mereka
miliki. Namun, kepuasan terhadap pendidikan, pendapatan, papan, pekerjaan, dan
kesehatan rendah.
Berdasarkan
karakteristik demografi dan ekonomi warga, kelompok masyarakat paling bahagia
adalah mereka yang tinggal di kota, perempuan, belum menikah, berusia 25-40
tahun, berpendidikan magister atau doktor, dan berpendapatan paling tinggi.
Indeks kebahagiaan juga
dibuat secara global untuk menilai kesejahteraan masyarakat dunia. Selama ini,
pembangunan ekonomi yang mengurangi kemiskinan dianggap sebagai pemicu utama
kebahagiaan masyarakat. Kenyataannya, faktor ekonomi tak selalu menentukan.
Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) 2013 yang disusun Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN SDSN) menunjukkan, dari 156 negara yang disurvei, masyarakat paling bahagia adalah warga Skandinavia dan Eropa Barat. Tingkat kebahagiaan warga di negara-negara adidaya ekonomi tak terlalu tinggi.
Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) 2013 yang disusun Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN SDSN) menunjukkan, dari 156 negara yang disurvei, masyarakat paling bahagia adalah warga Skandinavia dan Eropa Barat. Tingkat kebahagiaan warga di negara-negara adidaya ekonomi tak terlalu tinggi.
Selain disusun
berdasarkan indeks kebahagiaan tiap negara, survei global itu digabungkan
dengan angka harapan hidup sehat, persepsi atas korupsi, pendapatan per kapita,
kebebasan berpendapat, dukungan sosial, dan kedermawanan.
Persepsi
Kehadiran indeks kebahagiaan itu menimbulkan pro kontra. Indeks yang diharapkan bisa mengukur mutu manusia lebih utuh dibandingkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) itu dianggap masih terlalu menekankan aspek ekonomi dalam mengukur kebahagiaan manusia sebagai tujuan pembangunan. Terlebih, kebahagiaan bersifat fluktuatif dan sulit diukur.
Kehadiran indeks kebahagiaan itu menimbulkan pro kontra. Indeks yang diharapkan bisa mengukur mutu manusia lebih utuh dibandingkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) itu dianggap masih terlalu menekankan aspek ekonomi dalam mengukur kebahagiaan manusia sebagai tujuan pembangunan. Terlebih, kebahagiaan bersifat fluktuatif dan sulit diukur.
”Berbagai riset
menunjukkan, kepemilikan materi tak berkait langsung dengan kebahagiaan. Namun,
berbagai riset konsisten menunjukkan kelompok mampu lebih bahagia dibanding
yang kekurangan,” kata peneliti Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, Kamis (12/2).
Dalam mengukur
kebahagiaan, faktor materialistik tak bisa diabaikan. Namun, itu bukan
satu-satunya faktor penentu kebahagiaan seseorang.
Kebahagiaan diri ditentukan rujukan yang digunakan. Pemilihan rujukan amat bergantung pada cara kita menilai apa yang ada pada diri dan lingkungan serta apa yang kita miliki. ”Makin kompleks lingkungan tempat tinggal, kian banyak pembanding yang bisa jadi rujukan. Itu membuat seseorang rentan kurang bahagia,” katanya.
Kebahagiaan diri ditentukan rujukan yang digunakan. Pemilihan rujukan amat bergantung pada cara kita menilai apa yang ada pada diri dan lingkungan serta apa yang kita miliki. ”Makin kompleks lingkungan tempat tinggal, kian banyak pembanding yang bisa jadi rujukan. Itu membuat seseorang rentan kurang bahagia,” katanya.
Faktor rujukan itu
membuat mereka yang tinggal di negara- negara kecil, pulau terpencil, dan
daerah tertinggal bisa merasa bahagia. Namun, adanya teknologi khususnya
televisi membuat kadar bahagia mereka berkurang karena melimpahnya pasokan
referensi kebahagiaan.
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial
Universitas Sam Ratulangi yang juga Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains
Indonesia Taufiq Pasiak mengatakan, kebahagiaan terkait rasa hati, bagaimana
seseorang melihat ke dalam diri. Adapun kepuasan yang jadi acuan penyusunan
indeks kebahagiaan justru mendorong seseorang melihat keluar diri.
Kebahagiaan yang ditakar dengan hal-hal ekonomi
tak bertahan lama. Menurut Taufiq, mengutip penelitian Sonja Lyubomirsky dari
Universitas California Riverside, Amerika Serikat, kenaikan jabatan hanya
memberi kebahagiaan tiga bulan. Setelah itu, rasa tak bahagia akan muncul
karena menginginkan jabatan lebih tinggi.
Kemampuan seseorang menilai diri yang jadi
kunci rasa bahagia amat dipengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Konsep
bahagia berdasarkan kemampuan berpikir itu banyak diajarkan dalam filsafat,
agama, dan budaya Timur. Cara pandang itu membuat kebahagiaan lebih bermakna
filosofis dan teologis.
Karena itu, kebahagiaan amat terkait kemampuan
otak. ”Kebahagiaan ditentukan kemampuan berpikir seseorang, bagaimana dia
mempersepsi dan menafsirkan sesuatu,” ucap Taufiq.
Seseorang yang bahagia tecermin dari ketenangan
dalam hidupnya, tangguh menghadapi tiap tekanan dan cobaan. Ia juga memiliki
kehidupan spiritual baik yang membuatnya mampu bersyukur, sabar, dan ikhlas.
Budaya
Selain referensi dan kemampuan melihat diri, faktor budaya menentukan kebahagiaan seseorang. Sebagian kultur menekankan kepemilikan materi sebagai ukuran kebahagiaan. Namun, ada pula budaya yang mengajarkan untuk menerima apa adanya, menjadikan diri sendiri sebagai referensinya.
Selain referensi dan kemampuan melihat diri, faktor budaya menentukan kebahagiaan seseorang. Sebagian kultur menekankan kepemilikan materi sebagai ukuran kebahagiaan. Namun, ada pula budaya yang mengajarkan untuk menerima apa adanya, menjadikan diri sendiri sebagai referensinya.
Dalam konteks berbangsa, Rahmat menilai,
pandangan budaya yang menerima apa adanya tak mendukung usaha menjadikan bangsa
kompetitif, berorientasi prestasi, dan tak pernah puas atas apa yang dicapai.
Namun, konsep itu berisiko meningkatkan depresi warganya.
Karena itu, keseimbangan jadi kunci hidup
bahagia. Mengejar materi berlebih tak salah asal diimbangi kehidupan sosial dan
keluarga. ”Kebahagiaan hakiki adalah saat seseorang merasa diterima atau
memberi manfaat bagi orang lain,” ujar Taufiq.
Sumber : http://print.kompas.com Editor : Lusia Kus Anna /140215 Penulis :
M Zaid Wahyudi
http://health.kompas.com/read/2015/02/14/160000123/Bahagia.Bermula.dari.Pikiran
http://health.kompas.com/read/2015/02/14/160000123/Bahagia.Bermula.dari.Pikiran
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)